HAK MENDAHULU UTANG PAJAK DAN KEPAILITAN
Kata Kunci
Balai Harta Peninggalan, Fiducia, Hak Tanggungan, Hakim Pengawas, Kreditur Preferen, Kurator, Likuidator, Pailit
A. Dasar Hukum
1. Pasal 21 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;[1]
2. Pasal 21 ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;[2]
3. Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007
4. Pasal 14 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 19 Undang-undang Nomor 19 tahun 1997 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah;
6. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
7. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
8. Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
9. Penjelasan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
10. Pasal 61 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
11. Pasal 113 dan 114 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
12. Pasal 1137 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
13. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor Putusan 018 PK/N/1999;
14. Surat Edaran Kebijakan Penagihan Pajak Nomor SE-05/PJ.04/2008 tanggal 24 Juni 2008
B. Hak Mendahulu Utang Pajak
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.[3] Dalam hal ini maka negara mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Sedangkan pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.[4]
Ketentuan tentang hak mendahulu tersebut meliputi:
1. pokok pajak,
2. sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.[5]
Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya kecuali terhadap:[6]
1. biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun barang tidak bergerak;
2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang; dan/atau
3. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan:
1. pailit,
2. bubar, atau
3. dilikuidasi,
maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.[7]
Saat Hilangnya Hak Mendahulu Utang Pajak sebelum Tahun 2008
Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan:[8]
1. Surat Tagihan Pajak,
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
4. Surat Keputusan Pembetulan,
5. Surat Keputusan Keberatan,
6. Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut;
1. Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau
2. diberikan penundaan pembayaran.
Saat Hilangnya Hak Mendahulu Utang Pajak Tahun 2008 dan seterusnya
Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan:[9]
1. Surat Tagihan Pajak,
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
4. Surat Keputusan Pembetulan,
5. Surat Keputusan Keberatan,
6. Putusan Banding, atau
7. Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Ketentuan tentang hak mendahulu tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UU KUP, jo. Pasal 39 ayat (3) UU Kepabeanan, jo. Pasal 19 ayat (6) UU PPSP.
Penegasan dan pengakuan adanya Hak Mendahulu dari Kas Negara dan lain-lain badan umum yang dibentuk pemerintah, juga secara eksplisit diatur dalam Pasal 1137 KUH Perdata.
Perhitungan Jangka Waktu Hak Mendahulu Utang Pajak sebelum Tahun 2008
Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu 2 (dua) tahun dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran.[10]
Perhitungan Jangka Waktu Hak Mendahulu Utang Pajak Tahun 2008 dan seterusnya
1. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, maka jangka waktu 5 (lima) tahun dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
2. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran, maka jangka waktu 5 (lima) tahun dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan[11] atau sejak tanggal jatuh tempo angsuran terakhir.
C. Hak Mendahulu dalam Kaitannya dengan Hak Tanggungan dan Fiducia
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, termasuk atau tidak termasuk benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Obyek dari Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta turutannya yang dijadikan jaminan untuk pelunasan utang, terdiri dari hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, dan hak pakai atas tanah hak milik.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka ketentuan yang mengatur Hypotheek (BW) dan Credit Verband (Staatsblad 1908 Nomor 542) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan.
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Fiducia Eigendom Overdracht (FEO) adalah akta penjaminan terhadap barang bergerak untuk pelunasan utang tertentu melalui penyerahan hak milik kepercayaan dari debitur kepada kreditur.
Obyek dari perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan (FEO) adalah barang bergerak yang dijadikan jaminan untuk pelunasan utang. Pemberi FEO adalah pemilik asli dari barang yang diagunkan, sedangkan pemegang FEO adalah pemberi pinjaman atau kreditur. Dalam akta FEO pemilik asal sebagai debitur menyerahkan hak miliknya secara kepercayaan kepada kreditur, misalnya bank, namun pada umumnya barang tidak bergerak tersebut misalnya kendaraan atau mesin pabrik yang diserahkan secara kepercayaan tersebut secara fisik masih tetap dipegang, dikuasai, dan digunakan atau dijalankan oleh pemilik asal sebagai debitur, akan tetapi hanya sebagai peminjam pakai dari kreditur (bruik lener).
Hak mendahulu tagihan pajak melebihi hak mendahulu kreditur pemegang hak tanggungan dan fiducia, hal tersebut selain diatur dalam UU PPSP juga dipertegas oleh Penjelasan Umum butir 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang telah diakui dan berlaku pula dalam pelaksanaan Undang-Undang Pajak Perseroan (Pasal 39 ayat (4) Ordonansi PPs Tahun 1925), dan juga Pasal 28 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999.
D. Hak Mendahulu dalam Kaitannya dengan Penagihan Pajak dan Kepailitan
Pasal 21 ayat (3a) UU KUP Tahun 2007 menyatakan bahwa dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
Istilah-Istilah dalam Kepailitan
Dalam UU Kepailitan terdapat beberapa istilah yang harus dipahami dan dicermati setiap aparat pajak yang nantinya akan berhubungan dengan masalah-masalah dalam ruang lingkup kepailitan. Pasal-pasal tersebut antara lain mengatur tentang Kreditor, Debitor, Kurator, Pencocokan Piutang (Verifikasi Pajak), dan Perdamaian.
1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
2. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
3. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
4. Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.
5. Kurator adalah Balai harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
6. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang, dan wajib dipenuhi oleh Debitor, dan bila tidak dipenuhi memberi haknya kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.
7. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.
8. Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 telah dilakukan penyempurnaan peraturan tentang Kepailitan yang diatur dalam Faillssements-Verordening (Staatsblad 1905 Nomor 217). Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonan debitur sendiri, maupun atas permintaan para krediturnya.
Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu dilakukan, beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan itu. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataannya itu sendiri.
Sejak saat suatu perusahaan dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka segala hak dan kewajibannya dilakukan oleh Kurator, atau Balai Harta Peninggalan dengan supervisi oleh seorang Hakim Pengawas. Dalam putusan pailit, dapat pula ditetapkan bahwa sebagian atau seluruh kekayaan debitur dilakukan sita jaminan.
Proses kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004. Apabila suatu perusahaan dinyatakan pailit, maka hal tersebut akan terkait dengan permasalahan penyelesaian kewajiban atau utang perusahaan yang dapat dibayar dan dilunasi dengan aset-aset perusahaan yang masih ada. Kewajiban atau utang tersebut dapat berupa utang pajak ataupun utang-utang kepada kreditor lain. Utang pajak dapat ditagih pada harta perusahaan yang akan dibagi dalam harta pailit.[12]
Di dalam proses kepailitan sendiri, secara garis besar dikenal tiga macam kreditur, yaitu kreditur separatis, kreditur preferen dan kreditur konkuren.
Kreditur separatis adalah Kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, disebut juga kreditur dengan jaminan.
Kreditur preferen berarti kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas, namun demikian meskipun memiliki keistimewaan dibanding hak-hak yang dimiliki orang berpiutang pada umumnya, posisi pemegang hak istimewa pada dasarnya masih berada di bawah pemegang hak gadai atau hipotek sehubungan dengan benda-benda yang dijaminkan (Kreditur Separatis)
Kreditur konkuren atau kreditor biasa adalah kreditor pada umumnya (tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa). Menurut KUH Perdata, Kreditur konkuren memiliki kedudukan yang setara dan memiliki hak yang seimbang (proporsional) atas piutang-piutang mereka. Ketentuan tersebut juga dinamakan prinsip ‘paritas creditorium’.
Berdasarkan pasal 1134 ayat 2 jo pasal 1137 KUH Perdata dan pasal 21 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ke 3 atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Kreditur piutang pajak mempunyai kedudukan di atas Kreditur Separatis;
Selanjutnya Pasal 60 ayat 2 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 mengatur bahwa atas tuntutan Kurator atau Kreditur yang diistimewakan, yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditur pemegang hak sebagaimana dirnaksud pada ayat 1 (Kreditur Separatis), maka Kreditur pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan.
Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan pajak Bumi dan Bagunan (KPP/KPPBB) wajib melakukan pengawasan secara intensif dan melaksanakan hak mendahulu atas tunggakan pajak terhadap Wajib Pajak yang dinyatakan pailit dengan melakukan koordinasi dengan kurator dan Hakim Pengawas segera setelah diperoleh informasinya. Dalam hal terdapat permasalahan hukum terkait dengan pelaksanaan tindakan penagihan terhadap Wajib Pajak pailit, KPP/KPPBB agar segera melakukan koordinasi dengan Kepala Seksi Bimbingan Penagihan dan Kepala Sub Bagian Rumah Tangga dan Bantuan Hukum di Kantor Wilayah atasannya.
E. Pencocokan Piutang, Perdamaian, dan Pemberesan Harta Pailit
Tahap pencocokan piutang dalam proses kepailitan telah diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 143 UU Nomor 37 tahun 2004. Pasal-pasal tersebut diterangkan tahapan-tahapan proses pencocokan piutang yaitu rapat pencocokan utang, pengakuan piutang-piutang, bantahan piutang, dan pengakuan piutang dengan syarat. Dalam proses inilah biasanya pihak DJP akan bersinggungan, karena pada proses pencocokan Piutang di Pasal 113 ayat (1) UU Nomor 37 tahun 2004 diatur bahwa:
”Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, Hakim Pengawas harus menetapkan:
1. Batas akhir pengajuan tagihan;
2. Batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan”
Agar hak mendahulu dapat dimanfaatkan optimal dalam rangka efektivitas pelaksanaan penagihan pajak, Kepala KPP/KPPBB wajib melakukan pengawasan secara intensif dan melaksanakan hak mendahulu atas tunggakan pajak terhadap Wajib Pajak yang dinyatakan pailit, bubar, atau likuidasi, dengan melakukan koordinasi dengan kurator, likuidator, orang atau badan yang ditugasi melakukan pemberesan, segera setelah diperoleh informasinya.[13]
F. Hak Mendahului dalam kaitannya dengan Penyitaan
1. Penyitaan Dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
§ Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri[14]
§ Pengadilan Negeri yang menerima surat sanggahan tersebut memberitahukan secara tertulis kepada Pejabat[15]
§ Pejabat menangguhkan pelaksanaan penagihan pajak hanya terhadap barang yang disanggah kepemilikannya sejak menerima pemberitahuan tersebut[16]
§ Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan[17]
Pada dasarnya pihak ketiga dapat mengajukan gugatan terhadap kepemilikan barang yang disita oleh Jurusita Pajak melalui proses perdata. Namun apabila Pejabat lelang telah menunjuk seorang pembeli sebagai pemenang lelang dalam proses lelang yang sedang berlangsung, maka gugatan tidak dapat diajukan lagi terhadap kepemilikan barang yang telah terjual tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum dan melindungi kepentingan pembeli lelang karena kepada pihak ketiga telah diberikan kesempatan yang cukup untuk mengajukan gugatan sebelum lelang dilaksanakan.[18]
2. Penyitaan dilakukan oleh Pengadilan Negeri atau Instansi Lain yang Berwenang
§ Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang.[19]
§ Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa terhadap semua jenis barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang, tidak boleh disita lagi oleh Jurusita Pajak.
§ Terhadap barang yang telah disita tersebut, Jurusita Pajak menyampaikan salinan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang.[20] Tujuannya adalah agar Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang tersebut menentukan bahwa penyitaan atas barang dimaksud juga berlaku sebagai jaminan untuk pelunasan utang pajak yang tercantum dalam Surat Paksa.[21]
§ Pengadilan Negeri setelah menerima salinan Surat Paksa tersebut selanjutnya dalam sidang berikutnya menetapkan barang yang telah disita dimaksud adalah sebagai jaminan pelunasan utang pajak.[22] Dengan demikian, berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri dmaksud, maka pihak lain yang berkepentingan dapat mengetahuinya secara resmi.[23]
§ Instansi Lain yang Berwenang setelah menerima Surat Paksa menjadikan barang yang telah disita dimaksud sebagai jaminan pelunasan utang pajak[24]
§ Pengadilan Negeri atau Instansi Lain yang Berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahulu Negara untuk tagihan pajak[25]
§ hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:[26]
a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
c. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
§ Sebagai kelanjutan dari penetapan Pengadilan Negeri yang menentukan pembagian hasil penjualan barang sitaan dengan memperhatikan hak mendahulu untuk utang pajak, apabila penetapan Putusan yang dimaksud telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan Negeri segera mengirimkan putusannya ke Kantor Lelang untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian hasil lelang.[27]
[1] Berlaku untuk tahun pajak 2008 dan seterusnya
[2] Berlaku untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya
[3] Pasal 21 ayat (1) UU KUP
[4] Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU KUP
[5] Pasal 21 ayat (2) UU KUP
[6] Pasal 21 ayat (3) UU KUP, Pasal 19 ayat (6) UU PPSP
[7] Pasal 21 ayat (3a) UU KUP
[8] Pasal 21 ayat (4) UU KUP tahun 2000
[9] Pasal 21 ayat (4) UU KUP tahun 2007
[10] Pasal 21 ayat (5) UU KUP Tahun 2000
[11] Pasal 21 ayat (5) UU KUP
[12] Majalah Berita Pajak, 1 Juni 2008 Opini: “Ketika Proses Kepailitan di Pengadilan Niaga Berhubungan dengan Utang Pajak”
[13] Bagian III angka 9 Fokus dan Strategi Penagihan SE-05/PJ.04/2008
[14] Pasal 38 ayat (1) UU PPSP
[15] Pasal 38 ayat (2) UU PPSP
[16] Pasal 38 ayat (3) UU PPSP
[17] Pasal 38 ayat (4) UU PPSP
[18] Penjelasan Pasal 38 ayat (4) UU PPSP
[19] Pasal 19 ayat (1) UU PPSP
[20] Pasal 19 ayat (2) UU PPSP
[21] Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU PPSP
[22] Pasal 1
9 ayat (3) UU PPSP
[23] Penjelasan Pasal 19 ayat (3) UU PPSP
[24] Pasal 19 ayat (4) UU PPSP
[25] Pasal 19 ayat (5) UU PPSP
[26] Pasal 19 ayat (6) UU PPSP
[27] Pasal 19 ayat (7) UU PPSP
Kata Kunci
Balai Harta Peninggalan, Fiducia, Hak Tanggungan, Hakim Pengawas, Kreditur Preferen, Kurator, Likuidator, Pailit
A. Dasar Hukum
1. Pasal 21 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;[1]
2. Pasal 21 ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;[2]
3. Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007
4. Pasal 14 ayat (1), Pasal 18, dan Pasal 19 Undang-undang Nomor 19 tahun 1997 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah;
6. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
7. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
8. Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
9. Penjelasan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
10. Pasal 61 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
11. Pasal 113 dan 114 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
12. Pasal 1137 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
13. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor Putusan 018 PK/N/1999;
14. Surat Edaran Kebijakan Penagihan Pajak Nomor SE-05/PJ.04/2008 tanggal 24 Juni 2008
B. Hak Mendahulu Utang Pajak
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.[3] Dalam hal ini maka negara mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Sedangkan pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.[4]
Ketentuan tentang hak mendahulu tersebut meliputi:
1. pokok pajak,
2. sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.[5]
Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya kecuali terhadap:[6]
1. biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun barang tidak bergerak;
2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang; dan/atau
3. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan:
1. pailit,
2. bubar, atau
3. dilikuidasi,
maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.[7]
Saat Hilangnya Hak Mendahulu Utang Pajak sebelum Tahun 2008
Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan:[8]
1. Surat Tagihan Pajak,
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
4. Surat Keputusan Pembetulan,
5. Surat Keputusan Keberatan,
6. Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut;
1. Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau
2. diberikan penundaan pembayaran.
Saat Hilangnya Hak Mendahulu Utang Pajak Tahun 2008 dan seterusnya
Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan:[9]
1. Surat Tagihan Pajak,
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
4. Surat Keputusan Pembetulan,
5. Surat Keputusan Keberatan,
6. Putusan Banding, atau
7. Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Ketentuan tentang hak mendahulu tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (3) UU KUP, jo. Pasal 39 ayat (3) UU Kepabeanan, jo. Pasal 19 ayat (6) UU PPSP.
Penegasan dan pengakuan adanya Hak Mendahulu dari Kas Negara dan lain-lain badan umum yang dibentuk pemerintah, juga secara eksplisit diatur dalam Pasal 1137 KUH Perdata.
Perhitungan Jangka Waktu Hak Mendahulu Utang Pajak sebelum Tahun 2008
Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu 2 (dua) tahun dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran.[10]
Perhitungan Jangka Waktu Hak Mendahulu Utang Pajak Tahun 2008 dan seterusnya
1. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, maka jangka waktu 5 (lima) tahun dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
2. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran, maka jangka waktu 5 (lima) tahun dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan[11] atau sejak tanggal jatuh tempo angsuran terakhir.
C. Hak Mendahulu dalam Kaitannya dengan Hak Tanggungan dan Fiducia
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, termasuk atau tidak termasuk benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Obyek dari Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta turutannya yang dijadikan jaminan untuk pelunasan utang, terdiri dari hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, dan hak pakai atas tanah hak milik.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka ketentuan yang mengatur Hypotheek (BW) dan Credit Verband (Staatsblad 1908 Nomor 542) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan.
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Fiducia Eigendom Overdracht (FEO) adalah akta penjaminan terhadap barang bergerak untuk pelunasan utang tertentu melalui penyerahan hak milik kepercayaan dari debitur kepada kreditur.
Obyek dari perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan (FEO) adalah barang bergerak yang dijadikan jaminan untuk pelunasan utang. Pemberi FEO adalah pemilik asli dari barang yang diagunkan, sedangkan pemegang FEO adalah pemberi pinjaman atau kreditur. Dalam akta FEO pemilik asal sebagai debitur menyerahkan hak miliknya secara kepercayaan kepada kreditur, misalnya bank, namun pada umumnya barang tidak bergerak tersebut misalnya kendaraan atau mesin pabrik yang diserahkan secara kepercayaan tersebut secara fisik masih tetap dipegang, dikuasai, dan digunakan atau dijalankan oleh pemilik asal sebagai debitur, akan tetapi hanya sebagai peminjam pakai dari kreditur (bruik lener).
Hak mendahulu tagihan pajak melebihi hak mendahulu kreditur pemegang hak tanggungan dan fiducia, hal tersebut selain diatur dalam UU PPSP juga dipertegas oleh Penjelasan Umum butir 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, yang telah diakui dan berlaku pula dalam pelaksanaan Undang-Undang Pajak Perseroan (Pasal 39 ayat (4) Ordonansi PPs Tahun 1925), dan juga Pasal 28 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999.
D. Hak Mendahulu dalam Kaitannya dengan Penagihan Pajak dan Kepailitan
Pasal 21 ayat (3a) UU KUP Tahun 2007 menyatakan bahwa dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
Istilah-Istilah dalam Kepailitan
Dalam UU Kepailitan terdapat beberapa istilah yang harus dipahami dan dicermati setiap aparat pajak yang nantinya akan berhubungan dengan masalah-masalah dalam ruang lingkup kepailitan. Pasal-pasal tersebut antara lain mengatur tentang Kreditor, Debitor, Kurator, Pencocokan Piutang (Verifikasi Pajak), dan Perdamaian.
1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
2. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
3. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
4. Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.
5. Kurator adalah Balai harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas.
6. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang, dan wajib dipenuhi oleh Debitor, dan bila tidak dipenuhi memberi haknya kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.
7. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.
8. Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 telah dilakukan penyempurnaan peraturan tentang Kepailitan yang diatur dalam Faillssements-Verordening (Staatsblad 1905 Nomor 217). Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonan debitur sendiri, maupun atas permintaan para krediturnya.
Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu dilakukan, beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan itu. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataannya itu sendiri.
Sejak saat suatu perusahaan dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka segala hak dan kewajibannya dilakukan oleh Kurator, atau Balai Harta Peninggalan dengan supervisi oleh seorang Hakim Pengawas. Dalam putusan pailit, dapat pula ditetapkan bahwa sebagian atau seluruh kekayaan debitur dilakukan sita jaminan.
Proses kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004. Apabila suatu perusahaan dinyatakan pailit, maka hal tersebut akan terkait dengan permasalahan penyelesaian kewajiban atau utang perusahaan yang dapat dibayar dan dilunasi dengan aset-aset perusahaan yang masih ada. Kewajiban atau utang tersebut dapat berupa utang pajak ataupun utang-utang kepada kreditor lain. Utang pajak dapat ditagih pada harta perusahaan yang akan dibagi dalam harta pailit.[12]
Di dalam proses kepailitan sendiri, secara garis besar dikenal tiga macam kreditur, yaitu kreditur separatis, kreditur preferen dan kreditur konkuren.
Kreditur separatis adalah Kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, disebut juga kreditur dengan jaminan.
Kreditur preferen berarti kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas, namun demikian meskipun memiliki keistimewaan dibanding hak-hak yang dimiliki orang berpiutang pada umumnya, posisi pemegang hak istimewa pada dasarnya masih berada di bawah pemegang hak gadai atau hipotek sehubungan dengan benda-benda yang dijaminkan (Kreditur Separatis)
Kreditur konkuren atau kreditor biasa adalah kreditor pada umumnya (tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa). Menurut KUH Perdata, Kreditur konkuren memiliki kedudukan yang setara dan memiliki hak yang seimbang (proporsional) atas piutang-piutang mereka. Ketentuan tersebut juga dinamakan prinsip ‘paritas creditorium’.
Berdasarkan pasal 1134 ayat 2 jo pasal 1137 KUH Perdata dan pasal 21 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ke 3 atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Kreditur piutang pajak mempunyai kedudukan di atas Kreditur Separatis;
Selanjutnya Pasal 60 ayat 2 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 mengatur bahwa atas tuntutan Kurator atau Kreditur yang diistimewakan, yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditur pemegang hak sebagaimana dirnaksud pada ayat 1 (Kreditur Separatis), maka Kreditur pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan.
Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan pajak Bumi dan Bagunan (KPP/KPPBB) wajib melakukan pengawasan secara intensif dan melaksanakan hak mendahulu atas tunggakan pajak terhadap Wajib Pajak yang dinyatakan pailit dengan melakukan koordinasi dengan kurator dan Hakim Pengawas segera setelah diperoleh informasinya. Dalam hal terdapat permasalahan hukum terkait dengan pelaksanaan tindakan penagihan terhadap Wajib Pajak pailit, KPP/KPPBB agar segera melakukan koordinasi dengan Kepala Seksi Bimbingan Penagihan dan Kepala Sub Bagian Rumah Tangga dan Bantuan Hukum di Kantor Wilayah atasannya.
E. Pencocokan Piutang, Perdamaian, dan Pemberesan Harta Pailit
Tahap pencocokan piutang dalam proses kepailitan telah diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 143 UU Nomor 37 tahun 2004. Pasal-pasal tersebut diterangkan tahapan-tahapan proses pencocokan piutang yaitu rapat pencocokan utang, pengakuan piutang-piutang, bantahan piutang, dan pengakuan piutang dengan syarat. Dalam proses inilah biasanya pihak DJP akan bersinggungan, karena pada proses pencocokan Piutang di Pasal 113 ayat (1) UU Nomor 37 tahun 2004 diatur bahwa:
”Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, Hakim Pengawas harus menetapkan:
1. Batas akhir pengajuan tagihan;
2. Batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan”
Agar hak mendahulu dapat dimanfaatkan optimal dalam rangka efektivitas pelaksanaan penagihan pajak, Kepala KPP/KPPBB wajib melakukan pengawasan secara intensif dan melaksanakan hak mendahulu atas tunggakan pajak terhadap Wajib Pajak yang dinyatakan pailit, bubar, atau likuidasi, dengan melakukan koordinasi dengan kurator, likuidator, orang atau badan yang ditugasi melakukan pemberesan, segera setelah diperoleh informasinya.[13]
F. Hak Mendahului dalam kaitannya dengan Penyitaan
1. Penyitaan Dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
§ Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri[14]
§ Pengadilan Negeri yang menerima surat sanggahan tersebut memberitahukan secara tertulis kepada Pejabat[15]
§ Pejabat menangguhkan pelaksanaan penagihan pajak hanya terhadap barang yang disanggah kepemilikannya sejak menerima pemberitahuan tersebut[16]
§ Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan[17]
Pada dasarnya pihak ketiga dapat mengajukan gugatan terhadap kepemilikan barang yang disita oleh Jurusita Pajak melalui proses perdata. Namun apabila Pejabat lelang telah menunjuk seorang pembeli sebagai pemenang lelang dalam proses lelang yang sedang berlangsung, maka gugatan tidak dapat diajukan lagi terhadap kepemilikan barang yang telah terjual tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum dan melindungi kepentingan pembeli lelang karena kepada pihak ketiga telah diberikan kesempatan yang cukup untuk mengajukan gugatan sebelum lelang dilaksanakan.[18]
2. Penyitaan dilakukan oleh Pengadilan Negeri atau Instansi Lain yang Berwenang
§ Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang.[19]
§ Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa terhadap semua jenis barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang, tidak boleh disita lagi oleh Jurusita Pajak.
§ Terhadap barang yang telah disita tersebut, Jurusita Pajak menyampaikan salinan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang.[20] Tujuannya adalah agar Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang tersebut menentukan bahwa penyitaan atas barang dimaksud juga berlaku sebagai jaminan untuk pelunasan utang pajak yang tercantum dalam Surat Paksa.[21]
§ Pengadilan Negeri setelah menerima salinan Surat Paksa tersebut selanjutnya dalam sidang berikutnya menetapkan barang yang telah disita dimaksud adalah sebagai jaminan pelunasan utang pajak.[22] Dengan demikian, berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri dmaksud, maka pihak lain yang berkepentingan dapat mengetahuinya secara resmi.[23]
§ Instansi Lain yang Berwenang setelah menerima Surat Paksa menjadikan barang yang telah disita dimaksud sebagai jaminan pelunasan utang pajak[24]
§ Pengadilan Negeri atau Instansi Lain yang Berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahulu Negara untuk tagihan pajak[25]
§ hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:[26]
a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
c. biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
§ Sebagai kelanjutan dari penetapan Pengadilan Negeri yang menentukan pembagian hasil penjualan barang sitaan dengan memperhatikan hak mendahulu untuk utang pajak, apabila penetapan Putusan yang dimaksud telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan Negeri segera mengirimkan putusannya ke Kantor Lelang untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian hasil lelang.[27]
[1] Berlaku untuk tahun pajak 2008 dan seterusnya
[2] Berlaku untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya
[3] Pasal 21 ayat (1) UU KUP
[4] Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU KUP
[5] Pasal 21 ayat (2) UU KUP
[6] Pasal 21 ayat (3) UU KUP, Pasal 19 ayat (6) UU PPSP
[7] Pasal 21 ayat (3a) UU KUP
[8] Pasal 21 ayat (4) UU KUP tahun 2000
[9] Pasal 21 ayat (4) UU KUP tahun 2007
[10] Pasal 21 ayat (5) UU KUP Tahun 2000
[11] Pasal 21 ayat (5) UU KUP
[12] Majalah Berita Pajak, 1 Juni 2008 Opini: “Ketika Proses Kepailitan di Pengadilan Niaga Berhubungan dengan Utang Pajak”
[13] Bagian III angka 9 Fokus dan Strategi Penagihan SE-05/PJ.04/2008
[14] Pasal 38 ayat (1) UU PPSP
[15] Pasal 38 ayat (2) UU PPSP
[16] Pasal 38 ayat (3) UU PPSP
[17] Pasal 38 ayat (4) UU PPSP
[18] Penjelasan Pasal 38 ayat (4) UU PPSP
[19] Pasal 19 ayat (1) UU PPSP
[20] Pasal 19 ayat (2) UU PPSP
[21] Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU PPSP
[22] Pasal 1
9 ayat (3) UU PPSP
[23] Penjelasan Pasal 19 ayat (3) UU PPSP
[24] Pasal 19 ayat (4) UU PPSP
[25] Pasal 19 ayat (5) UU PPSP
[26] Pasal 19 ayat (6) UU PPSP
[27] Pasal 19 ayat (7) UU PPSP